ETIKA PROFESI AKUNTANSI
Profesi
akuntansi mengandung karakteristik pokok suatu profesi, diantaranya adalah jasa
yang sangat penting bagi masyarakat, pengabdian bangsa kepada masyarakat, dan
komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para
akuntan dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia
mengorbankan diri. Itulah sebabnya profesi akuntansi menetapkan standar teknis
atau standar etika yang harus dijadikan sebagai panduan oleh para akuntan,
utamanya yang secara resmi menjadi anggota profesi, dalam melaksanakan
tugas-tugas profesionalnya. Jadi, standar etika diperlukan bagi profesi
akuntansi karena akuntan memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan
menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan. Kode etik atau aturan
etika profesi akuntansi menyediakan panduan bagi para akuntan profesional dalam
mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit.
Etika
Profesi dan Etika Kerja Etika profesi atau etika profesional merupakan suatu
bidang etika (sosial) terapan. Etika profesi berkaitan dengan kewajiban etis
mereka yang menduduki posisi yang disebut profesional. Etika profesi berfungsi
sebagai panduan bagi para profesional dalam menjalani kewajiban mereka
memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi.
Dalam kaitannya dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang
mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam praktik
sehari-hari para profesional dalam menjalankan profesi mereka. Norma-norma ini
biasanya dikodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik atau kode
perilaku profesi yang bersangkutan.
Etika
profesi biasanya dibedakan dari etika kerja yang mengatur praktek, hak, dan
kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak disebut profesi
(non-profesional). Non-profesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan
dianggap kurang memiliki otonomi dan kekuasaan atau kemampuan profesional.
Namun demikian, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada alasan
moral untuk mengeluarkan etika kerja
dari kajian etika profesional karena keduanya tidak terlalu berbeda jenisnya
kecuali yang menyangkut besarnya bayaran yang diterima dari pekerjaan mereka.
Masyarakat tidak mencemaskan pengambilalihan pekerjaan, tetapi masyarakat mencemaskan
penyalahgunaan kekuasaan/keahlian. Pembedaan antara etika profesi dan etika
kerja lazimnya dilakukan mengingataktivitas para profesional seperti dokter,
pengacara, dan akuntan, adalah berbeda dengan pekerja lain umumnya. Para
profesional memiliki karakteristik khusus dari segi pendidikan atau pelatihan,
pengetahuan, pengalaman, dan hubungan dengan klien, yang membedakannya dari
dari pekerja non-profesional.
Pemahaman akan etika bisnis ini sangat penting bagi seorang
akuntan professional karena bisnis merupakan salah satu bidang penting bagi
para akuntan professional dalam mengerjakan tugasnya. Pemahaman tersebut akan
membantu para akuntan dalam menanggapi dan menangani masalah-masalah etis yang
berkaitan dengan praktik-praktik bisnis yang menjadi sasaran pengkajian dan
penilaian mereka. Prinsip- prinsip yang berlaku dalam etika bisnis ini hampir
sama pada prinsip- prinsip dari etika secara umum. Etika Pelayanan Publik dan
Akuntan Profesional Tuntutan akan efisiensi dan efektivitas organisasi,
profesionalisme, dan standar perilaku yang tinggi kini juga ditujukan pada
birokrasi atau administrasi publik yang bertanggung jawab terhadap pelayanan
publik. Aparatur birokrasi semakin dituntut untuk secara profesional
menunujukkan kinerjanya yang berkualitas tinggi, dengan cara- cara yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika. Bagi akuntan profesional, perhatian
terhadap praktik-praktik birokrasi serta isu-isu etikanya dan
perubahan-perubahan yang berlangsung adalah sangat penting dalam rangka
memperoleh pemahaman yang baik mengenai bagaimana akuntan profesional
seharusnya menafsirkan aturan-aturan profesi mereka sehingga dapat menempatkan
diri mereka secara tepat. Profesionalitas merujuk pada kompetensi teknis pekerjaan
itu sendiri yang menuntut hasil dengan standar tinggi. Sedangkan etika lebih
kepada kualifikasi perilaku moral bagi pegawai pelayan publik. Profesionalisme
dalam pelayanan publik memang membutuhkan komitmen yang tinggi mengingat
perilaku pelayan publik adalah terbuka sepanjang waktu dan menjadi sasaran
penilaian publik jika seorang pelayan publik gagal menjalankan tugasnya. Oleh
sebab itu, sebagai pegawai negeri yang bekecimpung dalam pelayanan publik sudah
sepantasnya menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme yang bersesuaian
dengan nilai-nilai etika sebagai acuan perilaku dalam melayani publik.
Berbagai kasus skandal bisnis dan keuangan yang melibatkan
para akuntan profesional mulai terkuak. Kasus-kasus tersebut dapat
mengindikasikan bahwa adanya pengingkaran oleh sejumlah akuntan terhadap
kepercayaan tinggi yang diberikan oleh masyarakat kepada profesi akuntansi. Ini
merupakan ancaman bagi para akuntan yang bersangkutan dan profesi akuntan
secara keseluruhan, yang harus disadari sepenuhnya dan ditanggapi
sungguh-sungguh dengan meningkatkan kepatuhan terhadap standar teknis maupun
standar etika yang berlaku.
Berikut
adalah kasus pelanggaran etika profesi:
Manipulasi
Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang
merupakan salah satu derivasi amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik negara, yakni PT Kereta Api
Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya pada
tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah
diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus dinyatakan menderita
kerugian sebesar Rp. 63 milyar.Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api
Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi,
dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan.
Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan
dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam
pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di lain pihak, PT
Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut hanya
terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak
tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang
tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta
Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak
tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia
sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut.
Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
Opini : PT Kereta Api Indonesia seharusnya tidak boleh mengabaikan
dimensi organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Setiap
bagian lembaga yang ada di dalamnya hendaknya diberi pemahaman masalah esensial
akuntansi dan keuangan yang ada agar tidak terjadi kesalahan dalam menangani
akuntansi serta keuangan secara khusus. Upaya ini penting untuk dilakukan guna
membangun kesepahaman (understanding) diantara seluruh unsur lembaga.
Selanjutnya, soliditas kelembagaan diharapkan tercipta sehingga mempermudah
penerapan sistem pengendalian manajemen di dalamnya.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar